Mitratel Bantah Klaim Warga Lampung Utara Soal Kerusakan Elektronik Akibat Tower

LAMPUNGUTARA – PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (Mitratel), perusahaan infrastruktur telekomunikasi terkemuka di Indonesia, akhirnya angkat bicara menanggapi keluhan warga di Kelapa Tujuh, Lampung Utara yang mengaitkan keberadaan menara telekomunikasi dengan kerusakan perangkat elektronik akibat sambaran petir.
Melalui General Manager Area I, Rudi Albert menyebut bahwa Mitratel secara tegas membantah tudingan yang menyudutkan perusahaan tanpa bukti objektif. Ia menegaskan bahwa tidak pernah ada laporan resmi dari warga yang diketahui oleh lurah atau kepala desa terkait kejadian sambaran petir dan kerusakan elektronik yang dikaitkan langsung dengan menara perusahaan.
“Kami tidak pernah menutup mata terhadap keluhan masyarakat. Namun hingga saat ini, tidak ada surat resmi yang kami terima dari warga setempat yang disertai verifikasi lurah atau kepala desa. Kami selalu terbuka terhadap dialog dan menyambut pelaporan yang mengikuti prosedur formal,” kata dia kepada awak media, Selasa (29/7/2025).
Menurutnya, perusahaan baru menerima tiga laporan informal selama empat bulan terakhir, tanpa disertai data atau pengaduan resmi yang bisa diverifikasi. Bahkan dalam pertemuan sebelumnya bersama warga dan lurah, pihak Mitratel telah memberikan penjelasan bahwa kerusakan akibat petir harus melalui verifikasi teknis oleh BMKG, sebelum dapat dikaitkan secara langsung dengan operasional menara.
Lebih lanjut, Rudi menegaskan bahwa tindakan penghalangan akses atau blokade terhadap menara telekomunikasi Mitratel di Lampung Utara merupakan pelanggaran hukum serius. Sebagai Objek Vital Nasional (Obvitnas) yang dilindungi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 dan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, infrastruktur ini memiliki posisi strategis dalam menjaga konektivitas publik.
“Setiap tindakan penghalangan fisik maupun gangguan elektromagnetik terhadap fasilitas ini bisa dikenai sanksi pidana hingga enam tahun penjara atau denda hingga Rp600 juta,” tegas Rudi.
Rudi juga menanggapi pernyataan warga anonim yang meminta kompensasi atas kerusakan alat elektronik serta menyinggung soal perpanjangan kontrak sewa lahan tanpa imbalan.
Menurutnya, perusahaan tidak akan melayani permintaan yang bersifat pribadi dan di luar prosedur hukum. Namun, Mitratel tetap berkomitmen mendukung kegiatan sosial kolektif masyarakat.
“Kami siap membantu dalam pembangunan musala, pos ronda, atau fasilitas umum. Tapi jika permintaannya bersifat pribadi atau tanpa dasar legal, tentu kami tolak,” ungkapnya.
Terkait kekhawatiran masyarakat mengenai dampak kesehatan dari radiasi menara telekomunikasi, Mitratel menegaskan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan risiko kesehatan dari menara, karena seluruh infrastruktur telah memenuhi standar nasional dan internasional.
“Justru perangkat seperti ponsel yang digunakan dekat dengan tubuh memiliki risiko lebih tinggi jika tidak digunakan secara bijak. Jadi, tudingan terhadap menara tidak berdasar secara ilmiah,” kata Rudi.
Mitratel menegaskan bahwa pihaknya tetap membuka ruang komunikasi dengan masyarakat secara resmi, namun akan menolak segala bentuk intimidasi, pungutan liar, atau pemaksaan yang tidak sesuai dengan regulasi.
“Hefki selaku anak pemilik lahan dan juga sebagai PJS sudah 3 kali mengklaim kerusakan elektronik dan sudah di selesaikan walaupun tidak berdasar yang di klaimnya. Kami mengajak semua pihak menjaga ketertiban, karena komunikasi bukan hanya soal sinyal, tapi menyangkut kehidupan sosial, ekonomi, dan keamanan masyarakat luas,” sambung Rudi.
Rudi menyatakan, “Kami mengajak semua pihak untuk tetap tertib karena komunikasi memengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan keamanan masyarakat luas selain sinyal”. Selain itu, penutupan akses atau intimidasi terhadap operator merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak publik atas layanan komunikasi.
“Menara ini bukan milik perusahaan semata, melainkan bagian dari sistem nasional yang menjamin akses informasi, pendidikan, layanan darurat, dan ekonomi digital,” pungkasnya.
Sebelumnya, sejumlah warga di Kelapa Tujuh, Lampung Utara, mengeluhkan kerusakan barang elektronik saat hujan disertai petir yang mereka duga berasal dari aktivitas menara sinyal. Namun, tidak satu pun dari mereka yang bersedia disebutkan namanya dalam pemberitaan, yang membuat klaim tersebut kehilangan kekuatan hukum dan objektivitas.
Di tengah tuntutan zaman digital, keberadaan infrastruktur telekomunikasi semestinya dijaga dan dilindungi, bukan dipolitisasi atau dijadikan objek tekanan. Setiap gangguan terhadap sistem ini sama saja dengan menghambat nadi kehidupan masyarakat modern. (Min)