Urban Farming Jadi Solusi Kemandirian Pangan di Metro

Foto : Aktivis Kebijakan Pertanian Kota Metro, M. Syanda Giantara Ali K.M. (ist)
Lingkarmetro.com | METRO — Harga bahan pangan yang terus melambung, pasokan pasar yang kerap tersendat, dan perubahan iklim yang tak menentu kini memunculkan keresahan baru di kalangan warga urban tentang bagaimana memastikan kecukupan pangan keluarga secara mandiri dan berkelanjutan.
Di tengah pertanyaan ini, sebuah gerakan akar rumput perlahan mengambil tempat. Urban farming alias bertani di wilayah perkotaan yang kini menjelma menjadi solusi praktis sekaligus strategis.
Kota Metro, yang selama ini dikenal sebagai kota kecil dengan denyut pembangunan yang relatif stabil, diam-diam menyimpan potensi besar dalam pengembangan pertanian kota.
Aktivis Kebijakan Pertanian M. Syanda Giantara Ali K.M., alumnus Magister Pertanian Universitas Lampung, menilai bahwa urban farming bukan sekadar tren, melainkan jawaban konkret atas tantangan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga.
“Kemandirian pangan bukan lagi wacana elitis. Ini kebutuhan mendesak. Metro punya keunggulan, yaitu budaya bertani masih hidup, ruang masih tersedia, dan modal sosial masyarakatnya kuat,” kata dia menanggapi isu ketahanan pangan di Metro, Rabu (25/6/2025).
Bukti nyata keberhasilan urban farming bisa ditemukan di Kelurahan Iringmulyo, Kecamatan Metro Timur. Kelompok Wanita Tani Selaras Sejahtera mengelola lahan kecil seluas 200 meter persegi untuk membudidayakan beragam tanaman seperti bayam, kangkung, cabai, tomat, serai, serta memelihara lele dan ayam kampung.
Hasil panen cukup untuk konsumsi harian dan sebagian dijual ke tetangga sekitar, menghasilkan pendapatan tambahan sekitar Rp150.000 hingga Rp300.000 per bulan.
Bukan angka yang besar, tetapi dalam konteks ekonomi rumah tangga, kontribusi ini bermakna. Lebih dari itu, praktik ini menciptakan stabilitas pasokan gizi keluarga secara langsung.
“Tidak hanya tanaman, sejumlah warga kini memanfaatkan ember bekas, kolam fiber, dan toren air untuk budidaya ikan air tawar. Modal awal yang relatif ringan, sekitar Rp300.000 hingga Rp500.000 bisa menghasilkan panen ikan dalam waktu dua hingga tiga bulan. Air kolam pun tidak dibuang percuma, melainkan dipakai sebagai pupuk cair organik bagi tanaman sekitar,” jelasnya.
Pria yang akrab disapa Giant itu menyebut bahwa kreativitas warga bahkan merambah ke peternakan skala kecil. Di beberapa sudut kota, kandang ayam dari bambu dan kayu bekas berdiri berdampingan dengan tanaman sayuran.
“Lima hingga sepuluh ekor ayam kampung cukup untuk memenuhi kebutuhan protein, sekaligus memberi peluang ekonomi tambahan melalui penjualan telur dan ayam potong,” ujarnya.
Dirinya juga menjelaskan bahwa Urban Farming di Metro berkembang dalam tiga skala, yaitu mikro, menengah, dan makro. Yang mana Skala mikro dilakukan dengan praktik mandiri di rumah, seperti menanam cabai, bayam, atau budidaya lele dalam ember.
Skala menengah, pengelolaan lahan kolektif oleh komunitas seperti PKK, karang taruna, atau kelompok tani. Mereka bisa membangun kebun bersama, rumah bibit, hingga tempat produksi kompos. Kemudian Skala makro, integrasi urban farming ke dalam program pemerintah seperti kampung tematik atau kelurahan mandiri pangan.
“Pemerintah berperan sebagai fasilitator, bukan pelaku langsung dengan memberikan pelatihan, benih, dan penguatan komunitas. Model ini mendapat penguatan dari Prof. Dr. Dwi Andreas Santosa dari IPB University yang menyebut urban farming sebagai strategi bertahan menghadapi krisis distribusi pangan nasional,” terangnya.
Pria yang juga merupakan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tersebut menerangkan bahwa riset dari Balitbang Kementerian Pertanian menyatakan bahwa pemanfaatan pekarangan bisa mencukupi hingga 30 sampai 50 persen kebutuhan sayur dan rempah rumah tangga, angka yang sangat signifikan jika dikembangkan secara masif.
Lebih dari sekadar urusan dapur, urban farming juga membawa dimensi edukasi, budaya, dan kesehatan. Anak-anak belajar tentang siklus tumbuhan, ibu rumah tangga memperluas peran produktifnya, dan lansia tetap aktif secara sosial melalui kegiatan berkebun.
“Urban farming menciptakan ruang dialog baru di dalam keluarga. Ini bukan soal pangan saja, tapi juga tentang waktu berkualitas, kepedulian lingkungan, dan kesadaran kolektif,” kata Gian.
Dirinya juga mencontohkan temuan Mary Corcoran dari Maynooth University, Irlandia yang menyebut urban farming sebagai cara mengambil kembali kendali atas apa yang kita konsumsi. Di tengah dunia yang serba instan dan digital, aktivitas menanam adalah tindakan personal yang sangat bermakna secara sosial.
“Kota Metro, dengan visinya sebagai kota cerdas berbasis jasa dan budaya religius, memiliki segala prasyarat untuk menjadi pionir dalam gerakan urban farming di Lampung. Ruang terbuka masih tersedia, laju pembangunan belum terlalu menekan, dan masyarakatnya memiliki warisan pengetahuan bertani yang masih lestari,” bebernya.
Yang dibutuhkan bukanlah proyek besar, melainkan langkah-langkah kecil namun strategis, pelatihan teknis, penyediaan sarana dasar, penguatan komunitas, dan dukungan lintas sektor.
“Hambatan terbesar urban farming bukan pada lahannya, tapi pada kurangnya pengetahuan teknis dan lemahnya motivasi. Di sinilah peran negara dan perguruan tinggi penting memberi pendampingan ringan, bukan mendikte,” cetusnya.
Dengan sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat, urban farming bisa menjadi bukan sekadar solusi alternatif, tapi arus utama dalam pembangunan kota yang berkelanjutan.
“Urban farming tidak perlu dimulai dengan ladang luas atau teknologi canggih. Semua bisa dimulai dari satu pot cabai di balkon, satu ember lele di teras, atau dua batang kelor di halaman rumah. Karena setiap tanaman yang tumbuh adalah simbol kemandirian,” tuturnya.
“Ketika kemandirian itu menyebar dari rumah ke rumah, dari RT ke RW, Kota Metro tidak hanya menjadi kota yang mandiri secara pangan, tetapi juga tangguh secara sosial, cerdas dalam budaya, dan adil dalam ekonomi. Inilah langkah kecil yang berdampak besar. Mari menanam, mari mandiri mulai hari ini,” tandasnya. (Red)