Dijerat Empat Pasal Berat, Terdakwa Pembunuhan Anak di Lamteng Hadapi Tuntutan Maksimal

0
dc1e7b32-3988-40a8-8471-49d0151245da

Pengacara keluarga korban, Dede Setiawan saat diwawancarai awak media usai persidangan. (Ist)

Lingkarmetro.com | LAMPUNG TENGAH – Sidang perdana kasus pembunuhan sadis terhadap Rahmat Kurniawan, anak di bawah umur, digelar dalam suasana emosional di Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Lampung Tengah, Selasa (18/6/2025).

Doa dan air mata mengiringi jalannya persidangan yang kini menjadi perhatian luas masyarakat. Jaksa Penuntut Umum (JPU) resmi mendakwa terdakwa dengan empat pasal pidana berat, menegaskan bahwa kejahatan terhadap anak tidak akan ditoleransi.

Perkara ini mengemuka sebagai salah satu kasus kekerasan terhadap anak yang paling mengguncang dalam beberapa tahun terakhir di Lampung. Dalam sidang yang berlangsung terbuka, JPU dari Kejaksaan Negeri Lampung Tengah membacakan surat dakwaan yang menyebut terdakwa dijerat dengan:

1. Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
2. Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
3. Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian.
4. Pasal 80 ayat (3) jo. Pasal 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Dengan dakwaan berlapis tersebut, terdakwa menghadapi ancaman hukuman maksimal berupa penjara seumur hidup atau pidana mati. Ini menunjukkan keseriusan negara dalam menindak pelaku kekerasan terhadap anak, terutama yang mengakibatkan hilangnya nyawa.

Usai persidangan, kuasa hukum keluarga korban, Dede Setiawan, menyampaikan pernyataan terbuka kepada media. Ia menegaskan bahwa kasus ini telah menjadi luka sosial mendalam, dan publik menanti keadilan ditegakkan tanpa kompromi.

“Perkara ini bukan hanya soal kehilangan seorang anak, tetapi juga soal keadilan bagi seluruh masyarakat. Kami ingin terdakwa dijatuhi hukuman seberat-beratnya,” ujar Dede.

Pihak keluarga berharap majelis hakim dan kejaksaan tak sekadar melihat kasus ini dari aspek yuridis, tetapi juga mempertimbangkan dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkan akibat tragedi tersebut.

Hukuman maksimal dinilai sebagai cara untuk menegaskan bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan luar biasa yang tak bisa ditoleransi.

Keterbatasan kapasitas ruang sidang tak menyurutkan langkah keluarga, kerabat, dan warga yang datang untuk memberi dukungan. Di halaman pengadilan, puluhan orang menggelar doa bersama dan tahlil bagi almarhum Rahmat Kurniawan.

“Kami mengirimkan Al-Fatihah untuk almarhum. Ini bukan sekadar simbol, tetapi bentuk solidaritas bahwa nyawa anak adalah sesuatu yang sakral dan tak boleh diperlakukan sewenang-wenang,” kata Dede.

Aksi doa bersama ini menjadi penegasan bahwa masyarakat tidak diam. Tragedi Rahmat dianggap bukan hanya kegagalan individu, tetapi kegagalan kolektif dalam menciptakan ruang aman bagi anak-anak.

Proses persidangan akan berlanjut dalam beberapa pekan ke depan. Agenda mendatang mencakup pemeriksaan saksi dan pengajuan alat bukti. Masyarakat sipil dan keluarga korban menyatakan komitmen untuk terus mengawal jalannya proses hukum.

“Kami ingin keadilan ditegakkan sampai ke akar. Bukan hanya demi almarhum Rahmat, tetapi juga sebagai pesan kuat bahwa negara hadir untuk melindungi anak-anaknya,” tegas Dede.

Kasus ini kini telah menjadi lebih dari sekadar perkara pidana. Ia telah menjelma sebagai panggilan moral bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperkuat perlindungan anak.

Pengadilan, dalam hal ini, diuji tidak hanya soal keberanian dalam menjatuhkan vonis, tetapi juga sejauh mana hukum mampu memberi keadilan yang hakiki bagi korban, bagi keluarga, dan bagi masa depan bangsa. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *