Akses Tower BUMN Diblokade, PT Mitratel Tempuh Jalur Hukum

0
4a5cdd9b-8c85-4dec-aebe-0261c1d99e68

Lingkarmetro.com | TULANG BAWANG BARAT, LAMPUNG — Infrastruktur telekomunikasi yang semestinya menjadi tulang punggung konektivitas masyarakat di era digital kini justru mengalami hambatan. PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), salah satu perusahaan BUMN, melaporkan tindakan penghalangan akses terhadap salah satu menara telekomunikasinya oleh oknum yang mengaku sebagai anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.

Peristiwa tersebut terjadi di lokasi menara 19/S11B1367/Panuragan Jaya, yang terletak di Jalan Siliwangi, RT 02/RW 03, Kelurahan Panuragan Jaya, Kecamatan Tulang Bawang. Akses menuju menara tersebut diduga telah diblokade secara sepihak, bahkan disertai dengan permintaan kompensasi dalam jumlah besar tanpa dasar hukum yang sah.

“Kami telah menerima banyak keluhan dari masyarakat terkait hilangnya sinyal telekomunikasi. Tindakan blokade ini bukan hanya mencederai hukum, tetapi juga berdampak terhadap layanan publik yang sangat vital,” ujar Rudi Albert, GM Area I Mitratel, kepada awak media, Sabtu (14/6/2025).

Gangguan terhadap fasilitas tersebut berdampak langsung terhadap jaringan komunikasi di sebagian besar wilayah Tulang Bawang. Mitratel memperingatkan bahwa jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, potensi terputusnya layanan secara menyeluruh tidak dapat dihindari.

Dalam kerangka regulasi nasional, menara telekomunikasi dikategorikan sebagai Objek Vital Nasional (Obvitnas). Keberadaan infrastruktur ini menyangkut kepentingan publik, keselamatan nasional, serta keberlangsungan aktivitas ekonomi dan pemerintahan. Oleh karena itu, segala bentuk gangguan terhadap fasilitas ini tergolong sebagai pelanggaran serius.

“Tindakan serupa telah berulang kali terjadi dan sangat menyulitkan tim operasional kami. Kami telah menyampaikan laporan resmi ke Kepolisian Resor Tulang Bawang Barat agar persoalan ini dapat ditangani secara hukum dengan tegas,” tegas Rudi.

PT Mitratel juga menanggapi klaim masyarakat mengenai dugaan kerusakan perangkat elektronik akibat sambaran petir. Pihak perusahaan menyatakan bahwa klaim tersebut perlu diverifikasi melalui uji teknis oleh instansi yang berwenang, seperti BMKG, mengingat di sekitar lokasi berdiri pula fasilitas milik tiga penyedia layanan lainnya.

“Kami tidak mengabaikan laporan masyarakat. Namun, verifikasi teknis perlu dilakukan secara objektif, termasuk melalui pemeriksaan sistem grounding menara. Tidak dapat serta-merta disimpulkan bahwa penyebabnya berasal dari menara kami,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Rudi menegaskan bahwa PT Mitratel tetap membuka diri untuk mendukung kegiatan sosial bersifat kolektif yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, seperti pembangunan sarana ibadah, pos ronda, atau fasilitas umum lainnya. Namun demikian, perusahaan menolak dengan tegas segala bentuk permintaan kompensasi yang bersifat pribadi atau tidak melalui prosedur resmi.

“Kami siap memberikan dukungan terhadap kegiatan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas. Namun, permintaan sepihak yang tidak disertai prosedur formal tidak dapat kami penuhi,” ujarnya.

Terkait kekhawatiran masyarakat mengenai potensi dampak kesehatan dari paparan radiasi menara telekomunikasi, PT Mitratel menegaskan bahwa hingga saat ini tidak terdapat bukti ilmiah yang menyatakan adanya risiko kesehatan langsung akibat keberadaan menara.

“Justru perangkat seperti ponsel yang digunakan dekat dengan tubuh memiliki potensi risiko lebih tinggi apabila tidak digunakan secara bijak,” terang Rudi.

Tindakan penghalangan terhadap operasional menara telekomunikasi diatur secara tegas dalam berbagai regulasi nasional. Anggota Satuan Tugas Jaringan Telekomunikasi Nasional,(SATGAB SUMBANGSEL) Haikal, menjelaskan bahwa perbuatan tersebut melanggar ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang secara eksplisit melarang tindakan yang menyebabkan gangguan fisik maupun elektromagnetik terhadap jaringan telekomunikasi. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai sanksi pidana penjara hingga enam tahun atau denda hingga Rp600 juta.

Selain itu, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004, infrastruktur telekomunikasi dikategorikan sebagai objek vital strategis yang wajib mendapatkan pengamanan dari negara. Gangguan terhadap fasilitas ini berpotensi menghambat berbagai sektor penting seperti transportasi, komunikasi nasional, serta tatanan pemerintahan.

“Kepolisian Republik Indonesia memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan dan pengamanan terhadap Objek Vital Nasional. Keputusan Presiden tersebut menjadi landasan hukum yang jelas bagi aparat penegak hukum untuk bertindak,” tambah Haikal.

Ketika sinyal komunikasi terputus, bukan hanya panggilan dan pesan digital yang terganggu, tetapi juga koneksi sosial, ekonomi, hingga layanan darurat. Di balik kejadian yang tampak sepele, tersembunyi risiko serius terhadap kehidupan masyarakat luas.

Dalam situasi ini, dialog yang konstruktif serta penegakan hukum harus berjalan beriringan. PT Mitratel menegaskan bahwa pihaknya tetap membuka ruang komunikasi dan pengaduan secara resmi, namun menolak dengan tegas segala bentuk pemaksaan, pungutan liar, maupun tindakan intimidatif.

“Kami mengajak semua pihak untuk menjaga ketertiban dan menghormati jalur hukum. Infrastruktur telekomunikasi merupakan fasilitas publik, bukan alat tawar-menawar sepihak,” tutup Rudi.

Di tengah kebutuhan digital yang semakin mendesak, keberadaan infrastruktur komunikasi harus dijaga dan dilindungi, bukan justru dijadikan objek kepentingan sempit. Sebab, layanan telekomunikasi bukan sekadar urusan bisnis, melainkan merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat modern. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *