0b796497-5c46-49f9-bef8-f7a4458c70de

Lingkarmetro.com | METRO – Di tengah pusaran politik praktis yang kerap meninabobokan idealisme generasi muda, seorang mahasiswa dari Universitas Dharmawacana Metro menunjukkan bahwa kritik dan kolaborasi bukanlah dua hal yang saling meniadakan.

Namanya Arby Pratama, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) yang menjadikan ruang akademik sebagai medan intelektual untuk mengawal pembangunan daerah dengan sikap kritis dan solutif.

Arby bukan aktivis musiman yang baru muncul saat momentum politik memanas. Ia adalah bagian dari generasi muda yang konsisten memosisikan diri sebagai pengawas sosial, penyambung suara publik, dan mitra kritis bagi para pemangku kebijakan.

Dengan latar belakang keilmuan di bidang jurnalistik, ia membentuk cara pandang yang tajam, skeptis namun konstruktif terhadap berbagai fenomena sosial dan kebijakan pemerintah daerah.

“Sudah saatnya aktivis dan pemuda tidak hanya hadir saat terjadi masalah besar. Kita harus hadir lebih awal, mengawal proses, bukan hanya mengomentari hasil,” kata Arby saat ditemui di sebuah diskusi komunitas literasi di Metro Selatan, Minggu (1/6/2025).

Menekuni dunia jurnalistik bukan sekadar pilihan karier bagi Arby. Baginya, jurnalisme adalah senjata intelektual untuk mengungkap ketimpangan dan mendorong akuntabilitas publik.

Dalam beberapa tahun terakhir, ia aktif menulis artikel investigatif mengenai kebijakan daerah yang dianggap tidak transparan, proyek pembangunan yang mangkrak, hingga tata kelola anggaran publik yang minim partisipasi masyarakat.

“Saya tidak ingin hanya jadi penonton. Jurnalistik memberikan saya ruang untuk masuk ke isu-isu yang sering diabaikan, dan itu membuat saya merasa punya tanggung jawab moral,” ungkapnya.

Dalam salah satu artikelnya yang sempat viral di Metro, Arby mengungkap dugaan ketidaksesuaian laporan pembangunan dengan kenyataan di lapangan. Temuannya memicu tanggapan keras dari warga dan memaksa pemerintah kota memberikan klarifikasi publik.

Berbeda dengan sebagian kelompok yang menjadikan kritik sebagai bentuk perlawanan yang nyaris membabi buta, pemuda yang menyandang kompetensi Wartawan Utama itu lebih memilih pendekatan yang lebih strategis, yaitu menjadi mitra kritis.

Ia menyadari bahwa mengawal pembangunan tidak selalu harus melalui oposisi frontal, tetapi bisa dilakukan melalui keterlibatan aktif dalam diskusi kebijakan, forum publik, hingga keterlibatan dalam pemantauan langsung program-program pemerintah.

“Saya tidak benci pada pemerintah. Saya justru ingin pemerintah bekerja lebih baik, dan itu hanya bisa terjadi kalau ada pihak yang berani mengingatkan,” jelasnya.

Menurutnya, banyak kebijakan baik yang gagal bukan karena niat jahat, tetapi karena lemahnya kontrol sosial dan tidak adanya partisipasi dari kalangan independen.

Dalam konteks ini, peran pemuda dan mahasiswa sangat vital, terlebih di daerah-daerah seperti Kota Metro yang belum memiliki ekosistem pengawasan publik yang kuat.

Arby juga tidak menutup mata terhadap persoalan di internal gerakan mahasiswa sendiri. Ia menyoroti kecenderungan sebagian mahasiswa yang lebih tertarik membangun pencitraan ketimbang membangun kapasitas.

Menurutnya, banyak aktivisme hari ini hanya berorientasi pada eksistensi personal di media sosial, bukan pada perubahan struktural.

“Kadang kita lebih peduli pada berapa banyak ‘like’ yang didapat dari unggahan aksi sosial, ketimbang substansi dari aksi itu sendiri. Itu berbahaya,” ujarnya kritis.

Ia mengajak mahasiswa FISIP khususnya, untuk kembali pada esensi, menjadi intelektual organik yang hidup bersama rakyat dan berpikir untuk kepentingan publik, bukan untuk modal politik pribadi.

Dalam konteks lokalitas Metro dan Lampung secara umum, Arby melihat adanya tantangan besar dalam sektor pendidikan, pelayanan publik, serta transparansi anggaran daerah. Ia memetakan bahwa lemahnya pengawasan terhadap pembangunan membuka celah bagi praktik korupsi dan pengabaian terhadap hak-hak warga.

Sebagai solusi, Arby mendorong pembentukan aliansi strategis antara mahasiswa, jurnalis, LSM, dan komunitas sipil untuk membentuk ekosistem pengawasan yang kuat dan berkelanjutan. Ia juga berharap kampus berani membuka ruang dialog yang lebih kritis dan terbuka bagi mahasiswa untuk menyampaikan analisis dan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah daerah.

“Tidak cukup hanya menyuarakan perubahan di ruang kelas atau seminar. Kita harus terjun langsung, memantau, mengkritik, dan kalau perlu, menggugat,” pungkasnya.

Apa yang dilakukan Arby Pratama bukanlah sesuatu yang besar dalam ukuran struktural, tetapi memiliki dampak penting secara kultural. Ia sedang membangun tradisi baru, yaitu mahasiswa bukan sekadar agen perubahan yang klise, tetapi mitra kritis pemerintah yang cerdas, berani, dan solutif.

Di tengah iklim demokrasi lokal yang stagnan, kehadiran sosok seperti Arby menjadi pengingat bahwa intelektual muda masih punya daya dobrak, asal mau keluar dari zona nyaman.

Dan barangkali, di tangan generasi seperti inilah, semangat reformasi dan cita-cita keadilan sosial bisa terus hidup di kampus, di masyarakat, dan di ruang-ruang kekuasaan yang terlalu lama dibiarkan berjalan tanpa pengawasan. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *