pixlr_20250519190236633

METRO – Di peta besar transformasi digital Indonesia, nama Kota Metro mungkin belum sebesar Jakarta atau Bandung. Namun di jantung Lampung, kota ini tengah menganyam takdir barunya dan di tengah anyaman itu, berdiri sosok muda dengan pandangan jauh ke depan yaitu Dr. Muhammad Rafieq Adi Pradana, Wakil Wali Kota Metro periode 2025–2029.

Rafieq bukan sekadar politisi. Ia adalah representasi dari sintesis baru antara teknokrasi dan kepemimpinan publik. Ini merupakan perpaduan yang masih langka di banyak kota-kota Indonesia.

Konsultan hukum dan arsitek transformasi digital sektor publik, Ahmad Satibi menilai bahwa Wakil Walikota Metro tersebut memiliki rekam jejak yang mumpuni di bidang teknologi.

Tibi menggambarkan Rafieq yang tidak hanya bicara soal jalan dan jembatan, tetapi juga tentang API dan integrasi sistem. Baginya, masa depan Metro harus dibangun bukan di atas pidato, melainkan dalam baris-baris kode, kebijakan berbasis data, dan platform digital yang menghubungkan masyarakat dengan pemerintah secara transparan.

“Rafieq ini adalah aset berharga bagi Kota Metro, Rafieq tumbuh dalam orbit keluarga yang akrab dengan dunia politik dan perjuangan sosial. Ayahnya, Edy Irawan Arief dan pamannya, Andi Arief adalah figur sentral dalam peta politik Demokrat,” kata Tibi kepada Lingkarmetro.com, Senin (19/5/2025).

Wakil Wali Kota yang lahir di Bandar Lampung pada 11 November 1991 itu memilih jalan yang berbeda. Ia tahu, nama besar bisa membuka pintu, tapi hanya kompetensi dan karakter yang bisa membuktikan kelayakan seseorang untuk memimpin.

“Di tengah pengaruh kuat keluarga, Rafieq membentuk identitasnya sendiri melalui pendidikan dan kerja nyata. Ia mengambil jalur akademik yang berfokus pada manajemen dan transformasi digital, sebuah pilihan yang tidak populer di kalangan politisi, namun kini terbukti menjadi fondasi penting bagi kepemimpinan modern,” ungkap Tibi.

Pria yang juga merupakan CEO PT Metro Visual Perkasa, mitra resmi Google di sektor pemerintahan dan pendidikan APAC itu menilai bahwa Kota Metro bukan kota besar, tapi justru karena itulah Metro ideal sebagai tempat percobaan besar.

“Yang saya nilai, inilah yang dilihat Rafieq. Potensi menjadikan Metro sebagai model kota cerdas berskala manusiawi, tempat di mana teknologi tidak mengasingkan, tetapi mendekatkan,” paparnya.

Pengusaha yang juga merupakan Pendiri Semesta Defender, unit keamanan siber dan audit digital berbasis metodologi Mandiant tersebut membeberkan bahwa dengan semangat Bumi Sai Wawai alias Tanah yang Indah dan Makmur, Rafieq dinilai dapat membenahi dasar-dasar transformasi digital Metro

“Kami yakin beliau mampu membangun arsitektur SPBE yang terintegrasi, memperluas literasi digital ASN dan warga, serta mendorong digitalisasi sektor pendidikan dan UMKM. Di era disrupsi, Rafieq paham bahwa kota kecil yang adaptif akan bergerak lebih cepat daripada kota besar yang lamban,” jelasnya.

Satibi yang juga aktif merancang proyek digitalisasi pemerintahan, KPBU, dan tata kelola data daerah itu mengaku dalam banyak kesempatan, Rafieq menegaskan bahwa teknologi hanyalah alat.

“Jam berapa kesempatan saya sering berdiskusi dengan Rafieq yang mana beliau menolak pendekatan yang mengagungkan digitalisasi tanpa makna. Baginya, sistem informasi bukan hanya soal efisiensi, tetapi soal keadilan. Inilah mengapa Rafieq menekankan digital humanism, sebuah prinsip bahwa kemajuan harus membawa keberpihakan, bukan sekadar kecepatan,” terangnya.

Tibi mendorong program open data agar warga bisa ikut mengawasi anggaran dan kinerja pemerintah. Ia membuka jalur partisipasi warga melalui platform digital yang bisa diakses dari ponsel, dan mengintegrasikan sistem aduan publik ke dalam dashboard harian wali kota. Transparansi bukan lagi retorika, tapi sistem.

“Transformasi digital bukan hanya urusan pemerintah. Nah, Rafieq memahami pentingnya membangun ekosistem ini, maka beliau menggandeng startup lokal, akademisi, dan dunia usaha untuk bersama-sama membentuk Digital Metro Ecosystem. Rafieq juga mendorong SMK dan kampus untuk mengembangkan kurikulum berbasis kebutuhan industri 4.0. Ia menyadari bahwa talenta digital tidak bisa diimpor, tapi harus dibina dari dalam,” bebernya.

Inisiatif seperti Digital Citizen Lab, Open Government Hackathon dan UMKM Digital Go Global adalah beberapa langkah kecil yang merefleksikan pendekatan sistemis. Ia juga aktif dalam memperjuangkan perluasan jaringan internet publik, terutama di kelurahan dan sekolah, agar digitalisasi tak menjadi eksklusivitas kota melainkan hak seluruh warga.

“Menurut saya, Rafieq adalah anomali dalam dunia politik lokal yang cenderung stagnan. Ia lebih sering berbicara tentang cloud-native infrastructure daripada sekadar APBD. Ia tidak hanya duduk di forum-forum seremonial, tetapi hadir dalam diskusi teknis mengenai interoperabilitas sistem atau desain kebijakan berbasis data,” ujarnya.

“Namun dalam semua itu, Rafieq tetap menjaga kesantunan khas pemimpin lokal. Ia tidak kehilangan akar. Dalam banyak forum keagamaan atau adat, ia hadir bukan sebagai teknokrat kaku, melainkan sebagai anak Lampung yang memahami nilai leluhur dan pentingnya budaya sebagai penopang peradaban digital,” imbuhnya.

Ahmad Satibi juga menegaskan bahwa mengapa kisah Rafieq penting untuk ditulis. Menurutnya, Indonesia butuh lebih banyak pemimpin seperti Rafieq dengan kriteria pemimpin daerah yang tidak hanya paham soal politik, tetapi juga paham sistem. Yang tidak hanya tahu bagaimana memenangkan pemilu, tetapi tahu bagaimana menjalankan pemerintahan yang akuntabel, modern, dan partisipatif.

“Dalam banyak aspek, Kota Metro adalah prototipe dari Indonesia masa depan, kota yang tidak terlalu besar untuk berubah, namun cukup strategis untuk menjadi inspirasi. Jika eksperimen Rafieq berhasil, maka ini bisa direplikasi ke ratusan kota lain. Dan jika gagal, kita pun bisa belajar dari keberaniannya untuk mencoba,” tambahnya.

Di tengah arus globalisasi dan revolusi industri 4.0, Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pembangunan fisik. Kita butuh pembangunan cetak biru digital, yang terjangkau, berkeadilan, dan sesuai dengan nilai-nilai kita sebagai bangsa.

“Rafieq sedang mencoba merajut itu semua dengan sabar, dengan sains, dan dengan sentuhan lokal. Perjalanan Rafieq Adi Pradana masih panjang. Tapi langkah awalnya menunjukkan arah yang benar. Ia telah menunjukkan bahwa teknologi dan kepemimpinan bukan dua dunia yang terpisah. Bahwa birokrasi bisa efisien tanpa kehilangan empati. Bahwa kota kecil bisa memimpin arah, bukan hanya mengikuti jejak,” tandasnya.

Jika langit Indonesia adalah kosmos yang luas, maka Kota Metro, dengan pemimpin seperti Rafieq, adalah bintang yang mulai bersinar terang di tengah-tengah langit Lampung yang mulai berubah warna. (Arfan)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *