Dari Transculture Sampai Akulturasi dalam Tari Tradisi dan Kontemporer

METRO – Dewan Kesenian Metro (DKM) menyelenggarakan sebuah seminar bertajuk Akulturasi Tari dalam Konteks Tradisi dan Kontemporer, yang menjadi titik pertemuan pemikiran antara seniman tari, penggiat budaya, dan penikmat seni di Kota Metro, di gedung DKM Nuwo Budayo pada Selasa (11/3/2025) lalu.
Acara tersebut menghadirkan sejumlah pembicara terkemuka dalam dunia tari, antara lain Reina Takeuchi, seorang penata tari asal Australia, Kiki Rahmatika, seorang koreografer asal Lampung, Antoni, seorang penari sekaligus pengamat seni, serta Susanto, seorang penari dan guru seni tari yang sudah berkiprah di dunia seni selama bertahun-tahun.
Moderator seminar, Solihin Ucok, Ketua Dewan Kesenian Metro yang memandu diskusi tersebut dengan penuh semangat.
Seminar ini mengangkat tema yang penting dan relevan dalam dunia seni tari, yakni transculture dan akulturasi dalam penciptaan karya tari yang tidak hanya sekadar mewariskan tradisi, tetapi juga menghadirkan karya yang mencerminkan dinamika zaman.
Dalam pemaparan-pemaparan yang penuh wawasan, para pembicara mengajak audiens untuk memahami proses penciptaan tari tidak hanya sebagai sebuah teknik atau gerakan, tetapi sebagai sebuah proses dialog antarbudaya yang melahirkan karya yang baru dan segar.
Reina Takeuchi, penata tari yang sudah berpengalaman bekerja dengan berbagai budaya di Australia, memulai pembicaraannya dengan menggarisbawahi pentingnya transculture dalam penciptaan karya seni.
Menurutnya, transculture bukan sekadar pertukaran budaya yang dangkal, tetapi sebuah proses mendalam yang terjadi ketika dua budaya bertemu, berinteraksi, dan bernegosiasi. Hal ini memungkinkan terciptanya pemahaman baru yang melampaui batasan-batasan budaya yang ada.
“Bertemu secara langsung dengan berbagai praktik budaya dalam proses penciptaan tari membuka ruang untuk sebuah pemahaman yang lebih dalam, bukan hanya dari segi teknik, tetapi juga dari segi nilai dan makna yang terkandung dalam setiap gerakan. Transculture menciptakan sebuah karya yang bukan hanya mencerminkan satu kebudayaan, tetapi hasil dari pertemuan berbagai kebudayaan,” ujar Reina.
Kiki Rahmatika, yang dikenal luas sebagai koreografer dan penari asal Lampung, mengungkapkan pandangannya tentang transculture dalam seni tari yang lebih menekankan pada esensi pertukaran yang lebih menyeluruh.
Kiki berpendapat bahwa transculture dalam seni tari bukan hanya tentang pertukaran tubuh antarbudaya, tetapi juga melibatkan pertukaran jiwa, perilaku, dan seluruh aspek kehidupan dalam kebudayaan tersebut.
“Sebagai seniman, kita harus memandang transculture sebagai sebuah proses metodologis yang kuat. Ini bukan hanya soal bergaya atau mengikuti tren, tetapi mencari akar dari setiap gerakan yang kita buat. Dari sinilah karya tari yang kokoh dan autentik bisa lahir,” kata Kiki yang telah mengunjungi berbagai negara untuk berkesenian.
Antoni, seorang penari sekaligus pengamat seni, menekankan bahwa riset yang mendalam terhadap kebudayaan masyarakat merupakan salah satu kunci utama dalam penciptaan karya tari yang orisinal dan bertahan lama.
Menurut Antoni, riset tidak boleh hanya dilakukan di dunia maya, tetapi harus benar-benar turun ke lapangan dan memahami denyut nadi kehidupan masyarakat.
“Riset yang benar-benar turun ke masyarakat akan menghasilkan karya yang unik, berakar pada tradisi, dan memiliki daya hidup yang panjang. Tanpa riset yang kuat, karya tari kita hanya akan menjadi klise, dan lebih mudah jatuh ke dalam kebiasaan meniru karya orang lain,” ujar Antoni dengan tegas.
Susanto, seorang penari dan guru seni tari yang juga hadir sebagai pembicara, berpendapat bahwa pengajaran tari kepada generasi muda adalah salah satu cara untuk membentuk akulturasi dalam masyarakat.
Menurutnya, generasi muda harus diperkenalkan pada karya tari yang setia pada gerakan asli, tanpa mengurangi atau menambah elemen-elemen yang tidak sesuai.
“Ajarkan tari dengan apa adanya. Jangan tambahkan atau kurangi gerakan-gerakan asli dari tarian itu. Biarkan mereka memahami dan merasakan perbedaan antara tari tradisi dan kontemporer. Dari situ mereka akan tahu bagaimana menjaga akar budaya kita sambil menyongsong perkembangan seni,” kata Susanto yang telah lama menjadi bagian dari komunitas seni tari di Lampung.
Pada akhir seminar, Solihin Ucok, Ketua Dewan Kesenian Metro, memberikan penekanan pada pentingnya riset yang intensif dan berbasis pada kenyataan masyarakat dalam menciptakan karya seni.
Menurutnya, untuk menghasilkan karya seni yang bisa benar-benar dianggap sebagai hasil proses akulturasi, seniman harus terjun langsung ke masyarakat, mengenal kehidupan mereka, dan memahami kebutuhan serta tantangan yang ada.
“Karya seni yang lahir dari proses akulturasi yang sesungguhnya adalah karya seni yang memiliki relevansi dengan masyarakat. Tidak ada yang mengada-ada, semuanya terjalin dalam proses yang organik. Inilah yang kami harapkan dari seminar ini,” tambah Solihin Ucok.
Seminar tersebut tidak hanya memberikan wawasan tentang pentingnya transculture dalam seni tari, tetapi juga mengajak semua pihak untuk melihat seni tari sebagai jembatan yang menghubungkan generasi dan budaya yang berbeda.
Melalui akulturasi, seni tari bisa berkembang tanpa kehilangan identitasnya, sekaligus mengajak setiap individu untuk saling memahami dan menghargai kebudayaan yang ada di sekitarnya.
Seminar tersebut dinilai dapat menginspirasi seniman tari dan masyarakat untuk terus menggali potensi akulturasi dalam penciptaan karya seni yang lebih mendalam dan bermakna, serta membawa seni tari ke tingkat yang lebih tinggi, baik dalam konteks tradisi maupun kontemporer. (Red)