Senja di Bumi Pratama Mandira, Penenang Hati yang Merana

0
7dbe1801-bfbd-424c-9937-7e593863f4ec

Lingkarmetro.com | OGAN KOMERING ILIR – Ada sesuatu yang magis di Bumi Pratama Mandira. Bukan sekadar hamparan tambak udang, bukan pula sekadar kanal-kanal yang membelah rawa dan hutan nipah. Di sana, di ujung peradaban Sumatera Selatan, kami menemukan ketenangan yang begitu dalam.

Minggu, 2 Februari 2025, tim media ini mendapatkan kesempatan langka untuk menjejakkan kaki di tanah ini. Aku ikut dalam rombongan ustaz kondang asal Lampung, H. Teguh Prasetyo dan Ustadz Andi Prayitno, yang akan mengisi ceramah di Masjid Agung Al-Fatah, Infra Modul 1 Blok 2, Kecamatan Sungai Menang, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Dari dermaga KPM Rawajitu Timur, Tulang Bawang, Lampung, kami memulai perjalanan dengan speedboat pukul 06.30 WIB. Tujuan kami adalah Desa Bumi Pratama Mandira, desa yang tersembunyi di antara rimba, air dan kanal.

Di dermaga, sosok yang penuh semangat sudah menanti kami, Bapak Rusman Effendi (53) namanya. seorang pionir tambak udang yang telah mengabdikan hidupnya dalam dunia perikanan sejak 1995, bermula dari Bumi Dipasena.

Bersama beliau, ada Muhammad Zainuri, seorang anggota Banser yang akrab dipanggil Pak Zainuri (42), yang setia mengawal perjalanan kami. Seorang motoris yang tak sempat kutanyakan namanya juga mengendalikan speedboat kami dengan cekatan.

Ketika speedboat meninggalkan jalur kanal besar dan mulai memasuki aliran Sungai Mesuji, kami tertegun. Sungai ini begitu lebar, begitu perkasa, dengan air yang tampak tak berujung, seolah-olah sedang mengalir ke dunia lain. Di kiri dan kanan, tanaman nipah tumbuh lebat, menciptakan bayangan hijau yang menari di permukaan air.

Tim media yang saat itu bertugas sebagai kru dokumenter untuk perjalanan H. Teguh Prasetyo dan Ustaz Andi Prayitno, bersama mereka menyaksikan keindahan yang baru pertama kali kami lihat dalam hidup. Seakan alam di sini masih menyimpan misteri, jauh dari hiruk-pikuk kota, jauh dari tangan-tangan yang mengubahnya menjadi beton dan aspal.

Namun, keindahan ini juga menyimpan kengerian. Sepanjang perjalanan, kami melihat buaya liar berjemur di tepian air, tubuh mereka yang panjang dan kekar mengisyaratkan bahwa ini adalah wilayah mereka. Mereka menghilang ke dalam sungai dengan gerakan lamban, menciptakan riak kecil yang segera kembali tenang.

Di Bumi Pratama Mandira, hari kami dipenuhi kegiatan pengajian, berbincang dengan warga, hingga menyaksikan langsung kehidupan di desa tambak ini. Namun, keajaiban sejati justru datang ketika perjalanan pulang.

Saat speedboat kami kembali meluncur di atas air, langit mulai berubah warna. Matahari yang seharian menghangatkan rawa dan tambak kini mulai tenggelam, meninggalkan jejak warna keemasan di cakrawala.

Senja datang perlahan, menyelimuti Bumi Pratama Mandira dengan cahaya lembut yang memantul di permukaan sungai, menciptakan kilauan jingga yang menari-nari di antara riak.

Kami menarik napas panjang. Rasanya semua lelah yang menumpuk sejak pagi luruh begitu saja. Langit di ufuk barat memamerkan gradasi warna yang menakjubkan, jingga menyala, merah tembaga, ungu lembut, berpadu dengan bayangan hitam pepohonan nipah.

Suara jangkrik mulai menggantikan kicauan burung, sementara suara air yang terbelah oleh speedboat kami menjadi latar musik alami yang menenangkan.

Di saat seperti ini, kami sadar bahwa ada keindahan yang tak bisa direkam oleh kamera. Ada ketenangan yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang hadir sepenuhnya.

Senja di Bumi Pratama Mandira bukan sekadar pemandangan. Ia adalah ketenangan bagi hati yang merana, adalah pengingat bahwa ada sudut-sudut dunia yang masih menyimpan keindahan murni, jauh dari hiruk-pikuk dan ambisi manusia.

Ketika speedboat terus melaju, membawa kami kembali ke peradaban, kami menoleh sekali lagi ke belakang. Senja di sana tetap menyala, menunggu mereka yang bersedia datang dan menemukannya sendiri. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *