Jalan Perjuangan Wakil Wali Kota Metro, Antara Regulasi dan Nasib THL
Lingkarmetro.com | METRO – Malam itu, Rabu (17/9/2025), kota Metro sudah mulai lengang. Lampu jalanan hanya sesekali bertemu dengan lalu lintas kendaraan yang melintas. Saya masih berada di rumah salah satu anggota DPRD Kota Metro, berbincang tentang sejumlah persoalan pelik yang mendera kota kecil yang selalu dinarasikan sebagai “kota pendidikan”.
Namun tepat pukul 22.45 WIB, suasana hening itu terpecah. Handphone saya berdering. Sebuah panggilan WhatsApp masuk dari nomor Wakil Wali Kota Metro, Dr. M. Rafieq Adi Pradana. Dengan salam singkat, beliau menanyakan posisi saya saat itu. Lalu, tanpa basa-basi, ia meminta saya menyiapkan pakaian dan bersiap untuk berangkat ke Jakarta malam itu juga.
Seketika saya terdiam. Saya tahu betul, setiap gerakan politik maupun kebijakan dari sosok yang akrab disapa Bang Rafieq bukanlah perkara sepele. Ini bukan sekadar perjalanan dinas biasa. Ada hal besar yang sedang diperjuangkan, yaitu nasib ratusan tenaga harian lepas (THL) non database Kota Metro yang terancam kehilangan pekerjaan.
Usai berpamitan dari rumah legislator itu, saya segera pulang, menyiapkan perlengkapan seadanya, dan bersiap. Tak lama kemudian, sebuah mobil Pajero Sport menjemput saya. Kami pun melaju menembus gelapnya malam menuju Jakarta.

Sepanjang perjalanan, Bang Rafieq bercerita panjang lebar. Ia tidak ingin ratusan THL non database yang sudah mengabdikan diri bertahun-tahun tiba-tiba dirumahkan hanya karena regulasi pusat yang berubah. Baginya, mereka bukan sekadar tenaga kerja kontrak, melainkan tulang punggung pelayanan publik yang menjaga agar mesin birokrasi tetap berjalan.
“Kalau kita diam, mereka bisa kehilangan penghasilan, kehilangan martabat, bahkan kehilangan harapan. Tugas kita mencari celah hukum agar tetap bisa mempertahankan mereka,” ujarnya tegas, saat berdiskusi malam itu.
Sesampainya di Jakarta, kami sempat singgah di Hotel Santika, Slipi sekadar untuk mandi dan berganti pakaian. Tak ada waktu beristirahat. Pagi itu juga, tepat pukul 10.00 WIB kami langsung menuju kantor Kementerian PAN-RB untuk bertemu Asisten Deputi Perencanaan dan Pengadaan SDM Aparatur, Suryo Hidayat.
Dalam pertemuan itu, Bang Rafieq menjadi juru bicara utama. Dengan gaya bicara lugas dan argumentasi yang sistematis, ia membuka dialog. Pihak kementerian memberikan berbagai masukan, mulai dari peta kebutuhan ASN, opsi skema penganggaran, hingga langkah-langkah teknis yang harus ditempuh pemerintah daerah.
Meski tidak ada keputusan final, sinyal positif mulai terlihat. Ada angin segar bahwa peluang mempertahankan THL masih terbuka, asal pemerintah daerah mampu menyesuaikan regulasi dan keuangan daerah.
Tak berhenti di situ, langkah berikutnya adalah menghadap BKN. Namun, kali ini hasilnya tidak seindah yang diharapkan. BKN menegaskan bahwa persoalan THL adalah domain daerah dan kementerian teknis lainnya. Dengan kata lain, bola panas tetap dikembalikan ke Metro.
Wajah lelah rombongan terlihat jelas, tetapi semangat Bang Rafieq tidak surut. “Kalau kita tidak dapat jawaban di sini, kita cari pintu lain,” katanya singkat.
Kesempatan itu datang pada Jum’at (19/9/2025). Berkat kerja seorang protokoler Pemkot Metro bernama Fadel yang luar biasa membuka jalur komunikasi, akhirnya ruang dialog terbuka dengan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu RI.
Pertemuan ini menjadi krusial. Kemenkeu menegaskan bahwa semua kembali pada kemampuan fiskal daerah. Keberlangsungan THL harus diselaraskan dengan APBD. Saran dari Kemenkeu jelas, lakukan rapat Forkopimda, dudukkan semua pihak, dan ambil keputusan bersama.
Artinya, mempertahankan THL bukan hanya persoalan kemauan politik, tapi juga kesanggupan finansial daerah.
Kini, perjuangan berada di fase paling genting. Rapat Forkopimda akan menjadi benteng terakhir, apakah Metro sanggup mempertahankan seluruh THL non database, atau harus mengambil langkah pengurangan.
Bang Rafieq menegaskan bahwa pemerintah kota tidak akan gegabah. Baginya, mempertahankan THL harus dilakukan tanpa dua hal, yaitu tanpa melanggar hukum dan tanpa mengorbankan pembangunan infrastruktur vital, mulai dari jalan mulus hingga drainase bebas banjir.
Sebagai saksi perjalanan itu, saya melihat langsung bagaimana seorang Wakil Wali Kota turun tangan, bukan hanya dari balik meja rapat, tapi ikut menembus dinginnya malam, antrean birokrasi, hingga ruang-ruang rapat kementerian di ibukota.
Bagi para THL non database, langkah ini memberi harapan. Mereka bukan sekadar angka dalam daftar kepegawaian, melainkan manusia yang menggantungkan hidup pada kebijakan pemerintah.
Di tengah gelombang ketidakpastian regulasi nasional, Metro punya sosok yang memilih berjuang bersama mereka. Dan itulah arti sesungguhnya dari politik yang membela kepentingan rakyat kecil, politik yang menolak menyerah di hadapan birokrasi pusat. (By)
![]()
