Jejak Mistis di Parangtritis, Catatan Empat Mahasiswa di Gerbang Ratu Kidul

0
8e0b17e2-5ccc-4c84-80fe-41da717318a8

Foto : Empat Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Wacana Metro, Sudarso, Arby Pratama Mori Kasino, dan Alwi Musa saat melakukan perekaman di Parangtritis. (Red)

Lingkarmetro.com | YOGYAKARTA – Pasir putih berdesir, debur ombak menggulung, dan angin siang terik yang membawa aroma mistis dari Laut Selatan menyambut kedatangan empat mahasiswa Universitas Dharma Wacana Metro di Pantai Parangtritis.

Mereka adalah Sudarso, Arby Pratama, Mori Kasino, dan Alwi Musa yang sedang melaksanakan fieldtrip di Yogyakarta. Alih-alih hanya mengisi waktu luang dengan wisata biasa, mereka memilih menjejakkan kaki di ruang-ruang penuh cerita, menyelami kisah yang tidak hanya hidup di buku sejarah, tetapi juga dalam denyut spiritual masyarakat Jawa.

Seperti sudah diwariskan dari mulut ke mulut, Parangtritis bukan sekadar pantai. Ia adalah gerbang mistis, wilayah persemayaman legenda Ratu Kidul yang hingga kini masih diyakini masyarakat Jawa sebagai penguasa Laut Selatan.

“Pasir halusnya menempel di kulit, bahkan masuk melalui pakaian yang kami kenakan. Rasanya seperti sebuah isyarat bahwa jangan singgah sebentar, nikmatilah seluruh misteri yang terhampar,” kenang Arby Pratama, sembari menuliskan catatan perjalanannya.

Keheningan siang itu hanya ditemani debur ombak yang sesekali menggulung keras. Matahari yang berada di ubun-ubun menambah terik siang itu. Mori Kasino berujar, “Ada nuansa berbeda. Seolah-olah pantai ini menyimpan rahasia yang tak bisa sepenuhnya dijelaskan logika,” ucapnya.

Perjalanan empat sekawan tak berhenti di Parangtritis. Usai mencatat kesan mistis di tepi pantai, mereka melanjutkan langkah ke pusat Yogyakarta, menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Bagi mereka, keraton bukan sekadar bangunan megah, melainkan pusat kosmologi Jawa yang menjembatani manusia dengan alam semesta.

Di balik benteng keraton yang membentang lebih dari 5 kilometer persegi, terdapat ribuan kisah yang dijaga oleh lebih dari 3.500 abdi dalem. Mereka bukan hanya pelayan keraton, melainkan penjaga tradisi, penghubung antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Foto : Empat Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Wacana Metro, Sudarso, Arby Pratama Mori Kasino, dan Alwi Musa saat melakukan pencatatan informasi sejarah di kawasan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. (Red)

“Keraton itu ibarat jantung peradaban Jawa,” ujar Sudarso. “Di sana, kami bertemu seorang abdi dalem yang bercerita tentang filosofi tata ruang keraton, hubungan spiritual antara laut selatan dan gunung merapi, serta bagaimana Sultan menjadi poros antara keduanya.”

Alwi Musa, yang sejak awal perjalanan kerap diam mengamati, akhirnya membuka suara. “Saya merasa perjalanan ini bukan sekadar fieldtrip. Ini semacam ziarah pengetahuan. Kami tak hanya belajar tentang sejarah, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat Jawa menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia gaib.”

Dari pasir Parangtritis hingga dinding keraton, mereka mencatat bahwa mistisisme Jawa bukan sekadar cerita rakyat. Ia adalah bagian dari identitas, yang menjaga masyarakat tetap berpijak pada harmoni.

Sesampainya nanti di Metro, Lampung, catatan perjalanan ini akan menjadi sumber inspirasi. Sudarso bertekad menuliskannya dalam bentuk esai kebudayaan, sementara Arby ingin mengolahnya menjadi feature jurnalistik. Mori melihat peluang untuk membuat dokumentasi audio-visual, dan Alwi berencana menuliskannya dalam puisi.

“Perjalanan ini mengajarkan kami bahwa sebuah destinasi bukan hanya untuk difoto atau diunggah di media sosial. Ada nilai yang lebih dalam, pengalaman batin, penghormatan pada tradisi, dan pencarian makna,” kata Mori dengan wajah serius.

Catatan mistis di Parangtritis menjadi penanda bahwa perjalanan mahasiswa tidak harus selalu akademis di dalam kelas. Di luar kampus, ada ruang luas untuk menimba hikmah. Ada laut yang mengajarkan tentang kedalaman, ada keraton yang menanamkan arti kebijaksanaan, dan ada masyarakat yang setia menjaga nilai leluhur.

Empat sekawan itu mungkin hanya singgah sebentar, tetapi pengalaman mereka akan bergaung lama. Parangtritis memberi kesan bahwa alam punya cara sendiri untuk berbicara, sementara keraton menegaskan bahwa budaya adalah jembatan menuju kebijaksanaan.

“Di Parangtritis kami diajak merenung, di Keraton kami diajak memahami. Dua dunia berbeda, tapi saling terhubung,” pungkas Arby Pratama, menutup catatan perjalanan mereka. (Red)

Loading

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *