Antara Edukasi dan Seremoni, Belajar di Luar Kelas yang Masih di Dalam Sistem

0
7ef9b6c4-833a-4348-a35d-b4550ce9a100

Lingkarmetro.com | METRO — Suara tawa anak-anak bersahut di halaman SMK Muhammadiyah 3 Metro. Enam armada odong-odong berwarna mencolok berhenti di depan gerbang. Di atasnya, anak-anak berseragam putih-biru melambai riang, membawa harapan sederhana, yaitu belajar sambil bermain.

Sabtu (11/10/2025) itu, 155 siswa kelas 1 MIM Hadimulyo Metro mengikuti kegiatan Outing Class bertema Menumbuhkan Kreativitas dan Kemandirian Anak, dengan fokus eksplorasi pembuatan sabun cair dan donat. Ada 17 guru yang mendampingi mereka. Dari wajah anak-anak, terlihat jelas, belajar bisa menyenangkan.

Namun di balik keceriaan dan dokumentasi manis yang berseliweran di media sosial sekolah, tersisa satu pertanyaan mendasar, apakah kegiatan seperti ini sungguh menjadi bentuk pembelajaran kontekstual atau sekadar seremoni tahunan yang berhenti di laporan kegiatan.

Kepala MIM Hadimulyo Metro, Sukarman tampak bangga saat melepas rombongan. Ia menyebut Outing Class sebagai bagian dari metode pembelajaran kontekstual yang rutin dilakukan sekolah.

“Anak-anak belajar dari pengalaman nyata. Mereka berani mencoba, berpikir kreatif, dan tumbuh menjadi pribadi mandiri,” ujarnya.

Di lokasi, anak-anak bergiliran mencampur bahan sabun cair, mengaduk adonan donat, dan mencoba mengukur takaran bahan. Guru hanya mengamati dari belakang, membiarkan anak-anak melakukan kesalahan kecil agar belajar dari prosesnya.

Metode ini sebenarnya sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka, membangun pengalaman belajar berbasis proyek. Tapi sayangnya, di banyak sekolah, semangat itu sering berhenti di kulit luar di acara, bukan di sistem.

SMK Muhammadiyah 3 Metro yang menjadi tuan rumah tampak antusias. Husein, perwakilan sekolah, menyambut para siswa dengan sambutan yang hangat.

“Semua Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) punya semangat yang sama: mencetak generasi unggul berkarakter Islami. Kolaborasi semacam ini penting untuk memperkuat jaringan pendidikan kita,” katanya.

Pernyataan itu terdengar visioner. Namun ketika ditelusuri lebih dalam, kolaborasi seperti ini belum memiliki kerangka berkelanjutan. Tak ada modul lanjutan yang mengaitkan hasil kegiatan dengan pembelajaran berikutnya di kelas.

Tak ada mekanisme evaluasi yang menilai apakah siswa benar-benar memahami proses pembuatan sabun sebagai bagian dari pelajaran IPA, atau donat sebagai pengantar pelajaran matematika dasar.

Dengan kata lain, kolaborasi antarlembaga Muhammadiyah ini lebih bersifat sporadis ketimbang strategis. Ia hidup dari semangat kepala sekolah dan guru, tapi belum ditopang sistem yang menjadikannya kebijakan bersama.

Seorang siswa bernama Alif tampak sumringah saat ditanya soal pengalamannya.

“Aku senang banget bisa bikin donat dan sabun. Seru juga naik odong-odong bareng teman-teman,” ujarnya polos.

Kegembiraan Alif adalah wajah paling jujur dari pendidikan dasar yang sederhana, tulus, dan apa adanya. Tapi di sisi lain, kegiatan seperti ini sering kali dimanfaatkan untuk menambal citra institusional sekolah, mempercantik laporan tahunan, memperbanyak dokumentasi media sosial, tanpa memastikan esensi belajarnya benar-benar sampai.

Dalam konteks lebih luas, kegiatan Outing Class seharusnya bisa menjadi laboratorium kecil pendidikan karakter. Anak-anak belajar bersosialisasi, bekerja sama, dan mencoba hal baru. Tapi tanpa tindak lanjut yang jelas di ruang kelas, kegiatan seperti ini berisiko menjadi wisata edukasi yang hanya melatih gembira, bukan berpikir.

Sementara itu, sekolah-sekolah di Metro kini berlomba tampil inovatif di hadapan publik. Hampir setiap bulan muncul kegiatan bertajuk “edukatif”, mulai dari festival kreativitas, market day, hingga kunjungan industri mini. Tapi sebagian besar masih berhenti di permukaan, yaitu seremonial, bukan substansial.

Di MIM Hadimulyo Metro, kegiatan ini memang memberi warna baru dalam rutinitas sekolah. Tapi di tengah tantangan kurikulum yang terus berubah, apakah pendidikan semacam ini cukup kuat untuk membentuk karakter dan kompetensi anak di masa depan.

Outing Class seperti ini seharusnya menjadi awal, bukan akhir. Dari pembuatan donat, anak bisa belajar tentang fermentasi, takaran bahan, bahkan nilai ekonomi sederhana. Dari pembuatan sabun, mereka bisa memahami konsep kimia dasar dan kebersihan lingkungan.

Tapi semua itu hanya mungkin jika sekolah menindaklanjuti kegiatan ini dengan pembelajaran reflektif di ruang kelas. Tanpa itu, kegiatan seperti ini hanya akan menjadi ritual tahunan dengan foto-foto lucu dan spanduk bertema islami. Kegembiraan anak-anak menjadi hiasan, bukan fondasi pembelajaran.

Outing Class MIM Hadimulyo Metro sejatinya menyimpan potensi besar. Ia memperlihatkan arah pendidikan yang lebih manusiawi, menyentuh, riil, dan kontekstual. Tapi untuk menjadi benar-benar bermakna, sekolah harus berani mengubah pola pikir dari mengajar demi acara, menjadi belajar demi makna.

Di tengah euforia dokumentasi kegiatan dan semangat inovasi semu, pertanyaan itu layak diajukan ulang. Apakah kita sedang mendidik anak untuk memahami dunia, atau hanya mengajaknya berfoto di dalamnya. (Agus W/ Red)

Loading

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *