Akademisi Sebut Pejabat Flexing Miliki Budaya Pencitraan, Bumerang Bagi Legitimasi Publik

Foto : Dr. (Cand.) Ari Gusnita, Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Dharma Wacana Metro. (Ist).
Lingkarmetro.com | METRO – Fenomena pejabat publik yang hobi memamerkan kekayaan kembali jadi sorotan. Dari unggahan media sosial hingga penampilan sehari-hari, gaya hidup mewah kerap dipertontonkan di hadapan rakyat yang justru sedang menghadapi tekanan ekonomi.
Akademisi menilai, tindakan semacam ini tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan bagian dari budaya pencitraan yang semakin mengakar dalam birokrasi dan politik Indonesia khususnya di Kota Metro.
Dr. (Cand.) Ari Gusnita, Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Dharma Wacana Metro menegaskan bahwa flexing pejabat harus dipandang lebih jauh sebagai gejala krisis kepemimpinan.
“Flexing itu bukan sekadar soal tas branded atau mobil mewah. Ini adalah refleksi dari kebutuhan psikologis, budaya pencitraan, sekaligus lemahnya etika publik dalam tubuh birokrasi kita,” kata Ari Gusnita kepada awak media, Kamis (4/9/2025).
Akademisi yang juga aktif meneliti pengabdian masyarakat hingga ke level internasional itu tercatat pernah menulis di Pasundan International of Community Services Journal (PICS-J) dengan topik Realizing Independent Villages Through Village Development Planning, itu menjelaskan sedikitnya ada lima alasan utama mengapa pejabat gemar flexing.
Wanita yang pernah menulis karya Implementasi Kebijakan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) di Desa Rantau Jaya Udik, Lampung Timur (2022) tersebut menilai bahwa banyak pejabat merasa kekuasaan saja tidak cukup. Mereka ingin membuktikan bahwa jabatan dapat berbuah kemewahan. Flexing pun menjadi cara cepat untuk memvalidasi diri.
“Ini mirip narsisme politik. Kekuasaan tidak cukup ditunjukkan lewat kebijakan, tapi juga lewat simbol materi,” paparnya.
Dalam tubuh birokrasi, persaingan tidak hanya soal prestasi, melainkan juga siapa lebih sukses. Rumah mentereng, mobil sport, hingga tas bermerek dijadikan simbol kemenangan.
“Flexing menjadi instrumen untuk membangun citra kekuasaan, sekaligus jarak sosial dengan rakyat biasa,” tambahnya.
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak merata, flexing justru melukai rasa keadilan. Pejabat dianggap gagal menjadi teladan.
“Kepemimpinan seharusnya menyejukkan rakyat, bukan menampar wajah mereka dengan pamer harta,” tegas Ari.
Ada pula pejabat yang menggunakan flexing untuk membangun wibawa semu. Kekayaan yang dipamerkan seakan menjadi tameng bahwa dirinya tidak mudah disentuh hukum.
“Kadang ini cara untuk mengalihkan perhatian publik dari kinerjanya yang lemah,” ungkap wanita yang merupakan penulis utama dalam karya Implementasi Program Keluarga Harapan (PKH) di Desa Ngesti Rahayu (2022) tersebut.
Fenomena flexing makin subur karena lingkungan birokrasi permisif. Tidak ada teguran, sanksi, atau kecaman sosial yang cukup keras. Bahkan media sosial semakin memperparah dengan budaya like dan viral.
Lebih jauh, Ari menekankan bahwa pejabat yang gemar flexing tidak otomatis memiliki gangguan kejiwaan. Namun, perilaku tersebut kerap terkait dengan sifat narsistik, kompleks inferioritas, hingga identitas yang terlalu materialistik.
“Flexing bisa jadi cara untuk menutup rasa minder karena minim prestasi. Ada juga yang menjadikan barang mewah sebagai identitas. Itu bukan gangguan klinis, tapi distorsi nilai hidup,” jelas Ari, yang memiliki keahlian di bidang Ilmu Pemerintahan, Kebijakan Publik, dan Pengabdian Masyarakat.
Dirinya menambahkan, sebagian pejabat juga mengalami kesulitan mengendalikan dorongan untuk pamer.
“Mereka tahu itu tidak etis, tapi tetap dilakukan. Ini masalah kontrol diri yang lemah,” katanya lagi.
Menurut Ari, yang juga aktivis perempuan di bidang akademik, flexing pejabat adalah kombinasi antara ego pribadi, kultur birokrasi yang permisif, dan kegagalan etika kepemimpinan.
“Pada akhirnya, semua itu menjadi bumerang. Rakyat kehilangan empati, dan legitimasi pejabat bisa runtuh hanya karena satu postingan pamer di Instagram,” tandasnya. (Red)