Belajar dari Kebumen, Antara Harapan Ekonomi Desa dan Bayang-Bayang Penyalahgunaan

Lingkarmetro.com | KEBUMEN – Rombongan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Dharma Wacana (UDW) Metro melakukan studi banding ke Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Rabu (3/9/2025).
Salah satu tujuan utamanya adalah mempelajari tata kelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai instrumen penggerak ekonomi desa yang belakangan banyak menuai sorotan.
Kunjungan ini terpusat di BUMDes Selokerto, Kecamatan Sempor, sebuah desa yang digadang-gadang menjadi salah satu contoh praktik baik pengelolaan BUMDes di Kebumen.
Bupati Kebumen, Hj. Lilis Nuryani dan Kepala Desa Selokerto, Paino menyambut langsung kehadiran mahasiswa. Ia menekankan bahwa BUMDes bukan sekadar formalitas, melainkan jalan untuk membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan warga desa.
Namun realitas di banyak daerah menunjukkan hal yang berbeda. Tak sedikit BUMDes justru menjadi ladang basah bagi segelintir elit desa, berujung pada penyalahgunaan dana, hingga kasus hukum. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, BUMDes berakhir di meja hijau karena lemahnya pengawasan dan tidak adanya transparansi anggaran.
Bupati Kebumen, Hj. Lilis Nuryani mengingatkan pentingnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam tata kelola BUMDes.
“BUMDes harus menjadi motor penggerak ekonomi desa. Tapi kuncinya ada pada keterbukaan laporan keuangan, profesionalisme pengelola, serta keterlibatan masyarakat dalam setiap keputusan strategis,” katanya.
Bupati berharap pengalaman Kebumen dapat menjadi pembelajaran berharga bagi mahasiswa UDW Metro, khususnya untuk konteks Lampung yang memiliki tantangan berbeda.
Dekan FISIP UDW Metro, Sudarman Mersa menyebut kunjungan ini sebagai bagian dari tugas akhir penelitian, skripsi maupun jurnal mahasiswa. Menurutnya, BUMDes bisa menjadi laboratorium nyata untuk menguji teori tata kelola pemerintahan desa, pelayanan publik, hingga manajemen keuangan.
“Kami ingin mahasiswa belajar langsung bagaimana pelayanan publik dan tata kelola desa di Kebumen dijalankan. Mereka harus mampu membawa pulang pelajaran ini, lalu membandingkannya dengan kondisi di Lampung, khususnya Metro,” tegasnya.
Selain belajar BUMDes, mahasiswa juga meninjau Samsat Budiman Kebumen di Selokerto, yang dikenal sebagai desk pelayanan cepat dan transparan. Kepala Samsat Kebumen, Budi menegaskan bahwa pelayanan publik tanpa pungli bukan hanya jargon, tetapi komitmen.
“Semua layanan gratis, semua ada prosedurnya. Tantangannya adalah bagaimana memastikan integritas tetap terjaga di tengah transaksi yang sangat besar, nilainya bisa mencapai Rp1,5 miliar. Kalau integritas goyah, pungli dan korupsi mudah sekali masuk,” ujarnya.
Sistem ini sekaligus membuka pertanyaan tentang bagaimana pola pemberian gaji dan insentif bagi pengurus agar tidak bergantung pada celah pungutan liar. Dan, apakah aparat penegak hukum (APH) benar-benar melakukan pengawasan efektif.
Kunjungan ini sekaligus menyingkap sederet pertanyaan tajam yang masih menggantung di banyak desa, termasuk Lampung. Tentang bagaimana Transparansi Anggaran, apakah laporan keuangan BUMDes dipublikasikan terbuka ke warga, atau hanya berputar di lingkaran elite.
Akuntabilitas, siapa yang mengawasi langsung jalannya BUMDes, dan apa langkah tegas bila ada penyalahgunaan. Apakah BUMDes benar-benar memberi manfaat ekonomi bagi warga kecil, atau sekadar proyek formalitas. Bagaimana masyarakat desa dilibatkan dalam pengambilan keputusan, atau semua ditentukan segelintir orang.
Lalu seperti apa Transparansi Aset. Apa saja unit usaha BUMDes dan berapa omzet serta laba bersih yang dihasilkan. Kemudian Etika Politik, bagaimana menjawab dugaan intervensi politik lokal dalam pengelolaan BUMDes.
Bagi mahasiswa UDW Metro, pengalaman ini menjadi tamparan sekaligus inspirasi. Di satu sisi, Kebumen menunjukkan bahwa BUMDes bisa dikelola dengan baik, transparan, dan profesional. Namun di sisi lain, banyak catatan kritis yang harus dijadikan refleksi agar jangan sampai BUMDes hanya menjadi panggung elite desa.
Di Lampung, BUMDes dan sistem pelayanan publik masih menghadapi stigma korupsi, pungli, dan kurangnya transparansi. Studi banding ini diharapkan dapat memicu lahirnya rekomendasi kebijakan yang lebih tajam, baik untuk desa maupun kota tentang bagaimana BUMDes dan layanan publik bisa benar-benar menjadi alat pemberdayaan rakyat, bukan mesin rente politik. (Red).