9b723855-df58-44fe-be1e-8441f5368953

Lingkarmetro.com | METRO – Kota Metro kembali menorehkan prestasi gemilang di bidang kesehatan. Kali ini, kota yang dikenal sebagai kota cerdas ini berhasil meraih peringkat pertama dalam capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Tuberkulosis (TBC) se-Provinsi Lampung.

Prestasi ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari kerja keras lintas sektor, komitmen kuat pemerintah, serta kesadaran masyarakat dalam melawan penyakit menular mematikan ini.

Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, estimasi jumlah penderita TBC di tahun 2025 mencapai 31.245 kasus. Di tengah angka yang mencemaskan ini, Kota Metro mencatat capaian penemuan kasus TBC sebesar 52 persen hanya dalam rentang waktu Januari hingga Juli 2025.

Foto : Kabid Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P3), Verawati Nasution saat dikonfirmasi di kantornya. (Red/Lingkarmetro)

Capaian ini jauh melampaui banyak kabupaten/kota lainnya di Lampung, menjadikan Metro sebagai percontohan dalam strategi penanggulangan TBC.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Metro, Eko Hendro Saputra melalui Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P3), Verawati Nasution menjelaskan bahwa capaian ini bukan hanya keberhasilan teknis, melainkan merupakan indikator kinerja utama Wali Kota Metro, H. Bambang Iman Santoso dalam bidang kesehatan.

“SPM TBC ini adalah wajah dari keseriusan pemerintah dalam menjamin layanan dasar kesehatan. Ini bukan sekadar target, tapi hak dasar warga untuk mendapatkan deteksi dan pengobatan yang tepat,” kata Verawati saat dikonfirmasi awak media, Rabu (6/8/2025).

Tak hanya unggul dalam penemuan kasus, tingkat kesembuhan atau success rate pengobatan TBC di Metro juga mencengangkan. Berdasarkan data Kohort 2023 yang dirilis pada 2024, dari 722 kasus TBC yang ditemukan dan diobati, sebanyak 688 pasien berhasil sembuh atau menyelesaikan pengobatan secara lengkap, setara dengan 95 persen success rate.

Verawati menyebut bahwa keberhasilan ini tidak lepas dari kontribusi seluruh jejaring fasilitas kesehatan (fasyankes), baik milik pemerintah maupun swasta. Puskesmas, rumah sakit, klinik, hingga dokter praktik mandiri (DPM) dilibatkan aktif dalam sistem pelaporan kasus melalui Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB).

“Semua fasyankes di Metro sudah memiliki akun SITB. Jadi, seluruh kasus terdata secara real time dan tidak ada yang terlewat. Ini yang membuat sistem pemantauan kita sangat kuat,” jelasnya.

Di balik keberhasilan teknis dan administratif ini, yang tak kalah penting adalah perubahan sikap masyarakat terhadap penyakit TBC. Selama ini, penyakit TBC kerap dilabeli sebagai kutukan atau penyakit keturunan. Namun kini, dengan pendekatan edukatif yang masif, stigma tersebut mulai hilang.

“Masyarakat sudah semakin sadar bahwa TBC adalah penyakit menular yang bisa disembuhkan dengan pengobatan rutin dan tuntas. Dukungan keluarga dan lingkungan menjadi kekuatan penting dalam proses penyembuhan pasien,” ucap Verawati.

Kesadaran ini muncul tidak hanya dari edukasi fasyankes, tapi juga dari kampanye kesehatan, sosialisasi kader, hingga edukasi berbasis komunitas yang rutin dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Metro.

Dengan pencapaian saat ini, Kota Metro secara optimis menatap target nasional Eliminasi TBC (Zero TB) pada tahun 2030. Namun Verawati menegaskan bahwa tantangan ke depan tetap besar, terutama dalam hal penemuan kasus laten dan mencegah potensi drop-out pengobatan.

“Keberhasilan kita bukan berarti berhenti. Justru sekarang kita sedang menggenjot pencatatan kasus lebih agresif, meningkatkan jangkauan skrining aktif, serta menjangkau populasi yang sulit diakses,” bebernya.

Keberhasilan Kota Metro dalam menempati peringkat pertama SPM TBC di Lampung bukan sekadar soal angka. Ini adalah simbol kematangan sistem kesehatan kota kecil yang mampu bersaing dalam peta nasional, sekaligus bukti bahwa dengan kolaborasi lintas sektor dan keterlibatan masyarakat, eliminasi TBC bukanlah angan-angan kosong. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *